Wednesday 18 September 2013

MENINGKATKAN KEMAMPUAN MEMBUAT KEPUTUSAN

Setiap hari kita membuat keputusan. Ada keputusan yang mudah dan cepat kita buat, tetapi terkadang perlu berpikir lama untuk menentukannya. Ada keputusan yang kita lakukan dengan sadar tetapi banyak juga keputusan yang seolah terjadi spontan dan refleks. Proses pengambilan keputusan kita lakukan di rumah, di kantor, atau di lingkungan lainnya. Ketika di pagi hari kita mau siap-siap berangkat ke kantor, kita harus mengambil keputusan mau sarapan pagi atau tidak. Mau berangkat ke kantor kita memutuskan naik apa? Bawa mobil sendiri atau naik kendaraan umum. Kalau naik kendaraan umum, kita mau naik apa? Taksi, kereta, bus, atau moda transportasi lain. Di kantorpun kita harus membuat keputusan. Bagaimana kalau penjualan mengalami tren penurunan, ongkos produksi naik, produktivitas pegawai menurun, penerimaan pajak di kantor ada kemungkinan tidak tercapai, dan sebagainya. Demikianlah masih banyak hal lain yang setiap saat harus kita putuskan. Tulisan ini menguraikan proses pengambilan keputusan. Diharapan kita dapat mengambil keputusan yang tepat baik untuk kepentingan individu maupun kepentingan organisasi. Tulisan ini merupakan bagian penutup dari serangkaian tulisan sebelumnya yang mencoba membedah kompetensi in-depth problem solving and analysis. Oleh karena itu, kepada pembaca yang belum sempat membaca tulisan sebelumnya, silahkan untuk membaca tulisan tersebut agar lebih mudah merangkaikan dengan tulisan ini. Pembahasan dalam tulisan ini terdiri dari dua bagian. Kedua bagian tersebut adalah Pengertian Pengambilan Keputusan dan Model Pengambilan Keputusan. Pengertian Pengambilan Keputusan Stoner, dkk (1995) menyatakan pembuatan keputusan – mengidentifikasi dan memilih serangkaian tindakan untuk menghadapi masalah tertentu atau mengambil keuntungan dari suatu kesempatan – adalah bagian penting dari pekerjaan setiap manajer. Robbin dan Coulter (2012) mengemukakan manajer pada setiap tingkatan dan di semua area organisasi membuat keputusan. Mereka membuat pilihan. Misalnya, manajer level atas membuat keputusan menyangkut tujuan organisasi, manajer level menengah dan bawah membuat keputusan mengenai jadwal produksi, masalah kualitas produk, dan lain-lain. Jones (2012) menjelaskan pengambilan keputusan organisasi adalah proses untuk merespon suatu masalah dengan cara mencari dan memilih suatu solusi atau tindakan yang akan menciptakan nilai bagi stakeholder organisasi. Kepner-Tregoe dalam Modul Pemecahan Masalah dan Pengambilan Keputusan (2008) menyatakan pengambilan keputusan dapat diartikan sebagai proses memilih tindakan dari beberapa alternatif untuk mencapai tujuan/sasaran. Pengambilan keputusan dalam Kamus Kompetensi Departemen keuangan (2007) merupakan bagian dari kompetensi in-depth problem solving and analysis. Lebih lanjut dalam kamus kompetensi tersebut, kompetensi pemecahan dan analisis masalah dijelaskan sebagai berikut; Pemecahan dan Analisis Masalah Memecahkan masalah yang sulit melalui evaluasi yang seksama dan sistematis terhadap informasi, alternatif yang mungkin dan konsekuensinya. Orang-orang yang kompeten, secara mendalam mampu menghasilkan solusi yang tepat untuk masalah-masalah yang sulit. Mereka mempertimbangkan banyak sumber informasi, secara sistematis mengolah dan mengevaluasi informasi dengan membandingkan berbagai arah tindakan, dan secara hati-hati mendiskusikannya sebelum membuat keputusan akhir. Penjelasan dalam kamus kompetensi di atas menunjukkan beberapa poin penting dari kemampuan dalam pengambilan keputusan, yaitu kemampuan mengenali, mengidentifikasi, dan menganalisis masalah; kemampuan mengembangkan alternatif pemecahan masalah; kemampuan mengambil keputusan atas alternatif yang ada; Untuk menjadi pengambil keputusan yang sukses, Gaspersz dan Fontana (2011) mengemukakan beberapa tips: Jangan takut masalah dan jangan menyatakan “kita tidak mempunyai masalah”. Masalah ada di mana-mana. Selalu gunakan data yang dikumpulkan melalui pengukuran yang akurat. Pelajari alat-alat manajemen untuk menyelesaikan masalah. Tingkatkan kemampuan teknikal melalui keahlian khusus, teknik, dan triks. Selalu ikuti langkah-langkah sistematik dalam solusi masalah. Jangan mau diperdaya oleh solusi menarik yang ditampilkan. Jangan pernah mencari “kambing hitam” atau menyalahkan sehingga masalah tidak terselesaikan. Jangan pernah menyalahkan situasi dan kondisi, tetapi kondisikan diri Anda pada situasi dan waktu yang tepat untuk menyelesaikan masalah. Chaudhry dalam Gaspersz dan Fontana (2011) menyatakan untuk menjadi seorang problem-solver yang berhasil, seseorang harus memiliki 10 karakter kualitas yaitu kreatif, berkarakter pemimpin, analitikal, terstruktur, sistematik, intuitif, kritis, informatif, synthesizer, dan berorientasi tim. Model Pengambilan Keputusan Terdapat beberapa model dalam pengambilan keputusan. Jones (2012) mengemukakan beberapa model pengambilan keputusan yaitu rational model, Carnegie model, incrementalist model, unstructured model, dan garbage can model. Masing-masing model diuraikan di bawah ini. Rational Model Stoner, dkk. (1995) menyatakan dalam model rasional pengambilan keputusan, manajer memberi bobot pilihan yang tersedia dan menghitung tingkat risiko optimal. Lebih lanjut, Stoner menjelaskan model ini berguna dalam membuat keputusan tidak terprogram. Manajer yang menggunakan pendekatan rasional, intelijen, dan sistematik lebih besar kemungkinannya untuk menghasilkan penyelesaian bermutu tinggi. Proses pengambilan keputusan dengan model rasional menurut Stoner, dkk. (1995) meliputi empat tahapan yaitu tahap pertama pengamatan situasi, tahap kedua kembangkan alternatif, tahap ketiga mengevaluasi alternatif dan memilih yang terbaik, dan tahap keempat implementasikan keputusan dan monitor hasil. Jones (2012) menyatakan langkah pengambilan keputusan model ini terdiri dari tiga langkah yaitu langkah pertama mengidentifikasi masalah yang perlu dipecahkan, langkah kedua merancang dan mengembangkan serangkaian alternatif solusi atau tindakan untuk memecahkan masalah, dan langkah ketiga membandingkan konsekuensi dari setiap alternatif, memutuskan solusi atau tindakan yang paling baik, dan mengimplementasikannya. Robins (2012) mengemukakan langkah pengambilan keputusan model ini meliputi identifikasi masalah, identifikasi kriteria keputusan, identifikasi bobot kriteria keputusan, mengembangkan alternatif, analisis alternatif, memilih alternatif, dan mengimplementasikan alternatif terpilih. Jones (2012) menyatakan model rasional dalam pengambilan keputusan menggunakan beberapa asumsi. Asumsi pertama, pengambil keputusan mempunyai semua informasi yang mereka butuhkan. Asumsi kedua, pembuat keputusan dapat mengambil keputusan paling baik. Asumsi ketiga, pengambil keputusan menyetujui apa yang akan dilakukan. Langkah-langkah dalam pengambilan keputusan model rasional ini dapat dilihat pada Gambar 1. Penjelasan masing-masing tahapan pengambilan keputusan adalah sebagai berikut. Tahap 1: Identifikasi Masalah Langkah pertama dalam pengambilan keputusan adalah kita mengidentifikasi masalah. Dengan mengenali masalah yang dihadapi oleh organisasi kita dapat menganalisis lebih lanjut untuk memecahkannya. Proses merumuskan masalah sampai dengan mengidentifikasi masalah sudah penulis paparkan secara panjang lebar pada tulisan-tulisan sebelumnya. Oleh karena itu, tahap 1 ini penulis tidak mengupas lebih lanjut. Pembaca dapat membaca kembali tulisan-tulisan sebelumnya. Tahap 2: Identifikasi Kriteria Keputusan Pada tahap ini kita menentukan kriteria apa yang diperlukan untuk keputusan yang akan diambil. Kepner dan Tregoe menyebutnya sebagai persyaratan pemilihan dan membagi kriteria dalam dua bagian yaitu kriteria wajib (keharusan) dan kriteria keinginan. Kriteria keharusan mempunyai ciri mutlak, terukur, dan realistis. Kriteria keharusan bersifat wajib ada dan harus dipenuhi. Kriteria keinginan bersifat relatif artinya digunakan untuk memilih mana alternatif yang paling mendekati keinginan organisasi. Contoh: kriteria yang kita tetapkan untuk pengadaan kebutuhan mobil operasional kantor. Beberapa kriteria diantaranya kenyamanan dan keselamatan mobil, kapasitas penumpang, spesifikasi mesin, penggunaan bahan bakar, eksterior mobil, interior mobil, servis purnajual, harga dan sebagainya. Tahap 3: Alokasi Bobot Kriteria Langkah ketiga adalah kita menentukan bobot kriteria yang telah kita tentukan pada tahap 2. Bobot kriteria untuk kebutuhan mobil operasional misalnya: - Kenyamanan dan keselamatan : 10 - Spesifikasi mesin : 8 - Kapasitas penumpang : 7 - Penggunaan bahan bakar : 6 - Servis purnajual : 5 - Harga Mobil : 4 Tahap 4: Mengembangkan Alternatif Pada tahap ini kita mengembangkan alternatif solusi atau tindakan untuk memecahkan masalah yang ada. Kita dapat menggunakan teknik brainstorming untuk mengembangkan alternatif solusi sebanyak-banyaknya. Brainstorming merupakan teknik pengambilan keputusan dan pemecahan masalah yang di dalamnya individu atau anggota kelompok mencoba meningkatkan kreativitas dengan mengajukan alternatif secara spontan tanpa memperhatikan kenyataan atau tradisi (Stoner, 1995). Contoh alternatif solusi untuk kebutuhan mobil operasional, kita dapat memilih diantara berbagai merek mobil yang telah memenuhi spesifikasi yang telah kita tentukan. Misalnya Mobil Merek A, Merek B, Merek C, dan sebagainya. Demikian juga cara perolehan mobil operasional tersebut, kita dapat memperoleh mobil dengan cara membeli tunai, menyewa, atau leasing. Pada tahap pengembangan alternatif solusi atau tindakan ini, kita tidak perlu membatasi alternatif solusi yang diajukan oleh individu atau kelompok. Sebanyak-banyaknya alternatif solusi akan semakin menunjukkan kreativitas kita dalam menyelesaikan masalah yang terjadi. Untuk contoh kebutuhan mobil operasional kantor di atas, masing-masing merek mobil kita beri nilai untuk setiap kriteria. Penentuan nilai dalam contoh ini kita menggunakan nilai skala 1-10. Misalkan nilai masing-masing merk mobil tersebut adalah sebagai berikut: Tahap 5: Analisis Alternatif Setelah kita mengembangkan alternatif solusi, langkah selanjutnya adalah menganalisis setiap alternatif yang ada untuk menentukan alternatif mana yang akan kita pilih. Pemilihan alternatif terbaik dilakukan dalam rangka memilih alternatif yang paling menguntungkan bagi organisasi. Oleh karena itu perlu dipertimbangkan berbagai hal diantaranya pertama aspek manfaat atau keuntungan bagi organisasi. Alternatif yang memberikan manfaat paling besar tentunya mendapat skor tinggi untuk dipilih. Aspek kedua adalah efektivitas. Alternatif solusi dikatakan efektif apabila mampu menyelesaikan masalah dan memberikan nilai tambah bagi organisasi. Aspek ketiga adalah kemudahan pelaksanaan. Apakah mungkin alternatif solusi yang kita ajukan dapat dilaksanakan atau tidak. Aspek berikutnya adalah biaya. Alternatif solusi yang biayanya rendah mempunyai skor tinggi. Dengan mempertimbangkan berbagai faktor tersebut, kita akan dapat menentukan alternatif solusi mana yang terbaik bagi organisasi. Contoh lanjutan dari pembelian mobil di atas, analisis dalam menentukan merek mobil mana yang paling baik, kita lakukan dengan menghitung nilai bobot dari masing-masing merek. Penggunaan nilai bobot kita lakukan karena masing-masing kriteria mempunyai bobot yang berbeda. Apabila bobot dari masing-masing kriteria sama, kita tidak perlu menghitung nilai bobot. Kita cukup menjumlahkan nilai dari semua kriteria. Nilai bobot merupakan perkalian dari nilai dengan bobot kriteria. Berdasarkan contoh pada tahap sebelumnya, nilai bobot masing-masing merek mobil dapat kita hitung sebagai berikut: Tahap 6: Memilih Alternatif Setelah kita menganalisis semua alternatif solusi, langkah berikutnya adalah menentukan satu alternatif solusi. Contoh pemilihan mobil operasional kantor di atas, berdasarkan perhitungan nilai bobot pada tabel sebelumnya maka alternatif mobil terbaik bagi organisasi adalah Mobil merek A. Alasan pemilihan Mobil Merek A karena mempunyai nilai bobot paling tinggi yaitu 324. Selanjutnya, untuk perolehan Mobil Merek A tersebut terdapat beberapa cara yang dapat dilakukan organisasi. Diantaranya organisasi dapat membeli secara tunai, membeli secara kredit, atau bahkan cukup dengan menyewa. Untuk menentukan cara mana yang paling menguntungkan bagi organisasi, kita dapat melakukan analisis lebih lanjut. Salah satu teknik analisis yang dapat kita gunakan adalah dengan menggunakan analisis biaya manfaat (cost benefit analysis). Masing-masing cara perolehan mobil operasional kita analisis manfaat maupun biayanya. Selanjutnya kita hitung rasio antara manfaat dan biaya tersebut. Jadi rumus rasionya adalah manfaat dibagi biaya. Cara perolehan yang terpilih adalah yang mempunyai rasio paling besar. Contoh analisis cara perolehan mobil operasional kantor di atas adalah pertama kita menghitung manfaat. Manfaat yang diperoleh untuk masing-masing cara perolehan adalah sama. Misalnya kita beri nilai skala manfaatnya 10. Kedua kita menghitung biaya. Biaya untuk masing-masing cara perolehan berbeda. Untuk pembelian tunai aspek biaya yang perlu dipertimbangkan adalah harga perolehan, biaya asuransi, biaya pemeliharaan selama masa pemakaian mobil, biaya penyusutan mobil, dan lain-lain. Perolehan secara kredit biaya yang muncul adalah uang muka, cicilan ditambah bunga yang dibebankan selama masa cicilan, biaya asuransi, biaya pemeliharaan, biaya penyusutan, dan lain-lain. Perolehan secara sewa, biayanya meliputi biaya sewa, biaya pemeliharan, dan lain-lain. Untuk lebih menyederhanakan kita dapat membuat nilai skala biaya ini misalnya 1 sampai dengan 10. Semakin tinggi biayanya nilai skalanya semakin besar. Misalnya setelah dihitung cara perolehan dengan pembelian tunai nilai skala biayanya 5, pembelian kredit 8, sewa 6. Berdasarkan data ini, kita dapat menghitung rasio biaya manfaatnya. Berdasarkan tabel di atas, maka cara perolehan mobil operasional kantor merek A adalah dengan cara pembelian tunai karena memiliki rasio biaya manfaat paling tinggi. Tahap 7: Implementasi Alternatif Tahap berikutnya setelah pemilihan alternatif solusi terbaik adalah mengimplementasikannya. Contoh perolehan mobil operasional di atas adalah kita melaksanakan perolehan mobil merek A dengan cara pembelian tunai. Tahap 8: Evaluasi Efektivitas Keputusan Tahap terakhir dalam proses pengambilan keputusan adalah mengevaluasi hasil dari keputusan yang telah diambil. Kita perlu mengevaluasi apakah alternatif solusi yang kita ambil telah mampu menyelesaikan masalah yang ada? Kalau ternyata masalah belum terselesaikan, kita harus evaluasi dan analisis kembali pada bagian mana terdapat kesalahan dalam analisis. Apabila dirasa perlu kita dapat mulai kembali dari awal proses pengambilan keputusan ini. Carnegie Model Model lain selain model rasional dalam pengambilan keputusan adalah model Carnegie. Model ini memperkenalkan asumsi yang lebih realistik dalam proses pengambilan keputusan. Beberapa asumsi pada model rasional dibuat lebih realistik. Diantaranya adalah satisficing, bounded rationality, dan organizational coalitions. Satisficing dilakukan untuk mengurangi biaya yang diperlukan dalam memperoleh informasi. Model ini menggunakan informasi yang terbatas dalam mengidentifikasi masalah dan mencari alternatif solusi. Dengan keterbatasan informasi, pembuat keputusan memuaskan diri dengan informasi yang ada dan konsekuensinya alternatif solusi menjadi lebih terbatas. Model rasional mengasumsikan manajer mempunyai kapasitas intelektual untuk mengevaluasi semua alternatif solusi. Berbeda dengan model rasional, model ini mengasumsikan adanya bounded rationality. Dalam asumsi ini, manajer mempunyai kapasitas terbatas untuk memproses informasi. Model rasional mengesampingkan preferensi dan nilai yang diyakini pengambil keputusan. Sebaliknya model ini mengakui adanya preferensi dan nilai yang diyakini oleh pengambil keputusan. Model ini memandang organisasi sebagai koalisi dari berbagai kepentingan. Oleh karena itu, model ini menawarkan organizational coalitions. Solusi yang dipilih adalah hasil dari kompromi, tawar menawar, dan akomodasi antar koalisi. Perbedaan antara model rasional dan model carnegie dalam pengambilan keputusan dapat dilihat pada tabel berikut: Incrementalist Model Pada model ini, pengambil keputusan memilih alternatif tindakan yang sedikit atau secara inkremental berbeda dari sebelumnya, jadi mengurangi peluang membuat kesalahan. Manajer mengoreksi atau menghindari kesalahan melalui keberhasilan dari perubahan inkremental. Unstructured Model Model ini menggambarkan proses pengambilan keputusan yang terjadi pada lingkungan dengan tingkat ketidakpastian tinggi. Model pengambilan keputusan ini dikembangkan oleh Henry Mintzberg dan rekan-rekan. Beberapa hal yang menjadi poin penting dari model ini adalah pertama, model ini mengakui adanya ketidakpastian di lingkungan organisasi. Kedua, pengambil keputusan akan memikirkan kembali alternatif solusi yang sudah diambil ketika mereka menghadapi hambatan atas alternatif tersebut. Ketiga, proses pengambilan keputusan bukanlah suatu proses linier dan berurutan. Keempat, model ini mencoba menjelaskan bagaimana organisasi membuat keputusan yang bersifat tidak terprogram. Garbage Can Model Model pengambilan keputusan ini memandang pengambilan keputusan sebagai proses tidak terstruktur atau bahkan ekstrim. Pendekatan yang digunakan dalam proses pengambilan keputusan dimulai dari sisi solusi bukan dari sisi masalah. Dengan kata lain, pengambil keputusan mungkin mengajukan solusi pada masalah yang tidak ada sekarang ini. Mereka menciptakan masalah yang dapat dipecahkan dengan solusi yang tersedia. Model ini berupaya menciptakan peluang pengambilan keputusan yang mereka dapat pecahkan sendiri didasarkan pada kompetensi dan skill yang dimiliki. Contoh: bagaimana mendapatkan konsumen baru, bagaimana menurunkan biaya produksi, bagaimana membuat inovasi produk, dan lain-lain. Ketika organisasi menghadapi masalah baru yang dibuat sendiri, mereka mencoba menemukan solusi berdasarkan identifikasi lingkungan atau operasional internal organisasi. Tim-tim yang dibentuk menjadi koalisi akan mengajukan solusi sendiri-sendiri. Koalisi yang berbeda kemungkinan akan menghasilkan alternatif berbeda. Pemilihan alternatif tergantung pada definisi orang atau kelompok terhadap situasi sekarang yang mereka yakini. Jadi proses pengambilan keputusan mencoba meleburkan masalah, solusi, dan tim/kelompok atau orang untuk tindakan organisasi. Penutup Pembahasan mengenai upaya untuk meningkatkan kemampuan pengambilan keputusan ini mengakhiri pembahasan penulis mengenai salah satu kompetensi yang ada dalam kamus kompetensi Departemen Keuangan yaitu in-depth problem solving and analisis. Penulis berharap mudah-mudahan pembahasan dalam serangkaian tulisan ini dapat dipahami oleh pembaca. Sebagai suatu kompetensi yang bersifat ketrampilan, tentunya perlu terus diasah dengan latihan secara terus menerus. Oleh karena itu, penulis berharap para pembaca yang ingin meningkatkan kompetensi ini dapat terus berlatih. Penulis ucapkan selamat berlatih terus dan mudah-mudahan mampu diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari baik di kantor maupun lingkungan lainnya sehingga mampu meningkatkan kinerja dan melahirkan prestasi. Selamat berlatih dan berprestasi. Daftar Rujukan .... 2007. Kamus Kompetensi. Departemen Keuangan Republik Indonesia. ---. 2008. Modul pemecahan Masalah dan Pengambilan Keputusan. Lembaga Administrasi Negara, Jakarta Gaspersz, Vincent dan Avanti Fontana. 2011. Integrated Management Problem Solving Panduan bagi Praktisi Bisnis dan Industri. Penerbit Vinchristo Publication, Bogor. Jones, Gareth R. 2012. Organizational Theory, Design, and Change. Pearson Education, Inc., Upper Saddle River, New Jersey. Stoner, James A.F., R. Edward Freeman, Daniel R. Gilbert Jr.. 1995. Manajemen. Edisi Bahasa Indonesia. Prentice Hall, Inc., A Simon & Schuster Company, Englewood Cliffs, New Jersey. Robbins, Stephen P. dan Mary Coulter. 2012. Management. Pearson Education Limited, Edinburgh Case, Harlow, Essex CM20 2JE, England. artikel ini dicopy dari bppk.depkeu.go.id

Thursday 16 May 2013

KEBIJAKAN PUBLIK SEBAGAI SUATU PROSES

Dimensi paling inti dari kebijakan publik adalah proses kebijakan. Di sini kebijakan publik dilihat sebagai sebuah proses kegiatan atau sebagai satu kesatuan sistem yang bergerak dari satu bagian ke bagian lain secara sinambung, saling menentukan dan saling membentuk.

Model proses kebijakan yang paling klasik dikembangkan oleh David Easton (1984). Easton melakukan analogi dengan sistem biologi. Pada dasarnya sistem biologi merupakan proses interaksi antar mahluk hidup dengan lingkungannya, yang akhirnya menciptakan kelangsungan perubahan hidup yang relatif stabil. Dalam terminologi ini, Easton menganalogikannya dengan kehidupan sistem politik. Kebijakan publik dengan sistem mengandaikan bahwa kebijakan merupakan hasil atau output dari sistem (politik). Seperti dipelajari dalam ilmu politik, sistem politik terdiri atas input, throughput dan output, seperti digambarkan sebagai berikut:

Gambar Proses Kebijakan Publik Easton
Proses Kebijakan Publik Easton

Dari gambar tersebut dapat dipahami bahwa proses formulasi kebijakan publik berada dalam sistem politik dengan mengandalkan pada masukan (input) yang terdiri atas dua hal, yaitu tuntutan dan dukungan. Model Easton inilah yang dikembangkan oleh para akademis di bidang kebijakan publik, seperti: Anderson, Dunn, Patton dan Savicky, dan Effendy.

Sedangkan, James E. Anderson, David W. Brady, dan Charles Bullock III (1978) membagi proses kebijakan menjadi:
  1. Agenda kebijakan (policy agenda)
  2. Perumusan kebijakan (policy formulation)
  3. Penetapan kebijakan (policy adoption)
  4. Pelaksanaan kebijakan (policy implementation)
  5. Evaluasi kebijakan (policy evaluation)

Model ini selanjutnya dibandingkan dengan model proses kebijakan yang dikembangkan oleh William N. Dunn sebagai berikut:

Gambar Proses Kebijakan Publik Dunn
Proses Kebijakan Publik Dunn
Patton dan Savicky membuat siklus proses kebijakan sebagai berikut:
  1. Mendefinisikan masalah (define the problem)
  2. Menentukan kriteria evaluasi (detrmine evaluation criteria)
  3. Mengidentifikasi kebijakan-kebijakan alternatif (identify alternative policies)
  4. Mengevaluasi kebijakan-kebijakan alternatif (evaluate alternative policies)
  5. Menyeleksi kebijakan-kebijakan pilihan (select preferred policy)
  6. Menerapkan kebijakan-kebijakan pilihan (implement the preferred policy)

Model proses kebijakan lainnya, dikenalkan oleh Thomas R. Dye yang dibagi menjadi:
  1. Identifikasi masalah kebijakan (identification of policy problem)
  2. Pengaturan agenda (agenda setting)
  3. Perumusan kebijakan (policy formulation)
  4. Pengesahan kebijakan (policy legitimation)
  5. Pelaksanaan kebijakan (policy implementation)
  6. Evaluasi kebijakan (policy evaluation)

Konsep proses kebijakan yang dikembangkan Gerald Meier, yang disebut policy formation juga bersifat linear, sebagaimana dapat disimak pada gambar berikut ini

Gambar Proses Kebijakan Meier
Proses Kebijakan Meier
Sementara itu, Merilee Grindle dan John Thomas (1991) menyepakati bahwa pada dasarnya proses kebijakan tidak sepenuhnya linear, melainkan bergerak seperti diagram pohon keputusan (decision tree model) sebagai berikut:

Gambar Proses Kebijakan Grindle dan Thomas
Proses Kebijakan Grindle dan Thomas
David Scott (2000) mengemukakan tiga model proses kebijakan, yaitu:
  1. Centralized
    1. Policy Made
    2. Policy Implemented
  2. Pluralisme
    1. Policy Made
    2. Policy Contest and Remade
    3. Policy Implemented
  3. Fragmen & Multidirected
    1. Policy Made
    2. Policy Contested and Remade
    3. Policy Remade During Its Implementation
    4. Policy Rewritten

Model yang dikembangkan oleh para para ilmuwan kebijakan publik di atas mempunyai satu kesamaan yaitu bahwa proses kebijakan berjalan dari formulasi menuju implementasi, untuk mencapai kinerja kebijakan. Pola kesamaan tersebut menjelaskan bahwa proses kebijakan adalah dari gagasan kebijakan, formalisasi dan legalisasi kebijakan, implementasi, baru kemudian menuju kinerja atau mencapai prestasi yang diharapkan sebagai hasil dari evaluasi kinerja kebijakan.

KAJIAN KEBIJAKAN PUBLIK



1.1 Arti Penting Studi Kebijakan Politik
Saat ini kebijakan publik merupakan salah satu cabang ilmu yang berkembang cukup pesat sejalan dengan kebutuhan masyarakat khususnya sektor public. Kebijakan public merupakan cabang studi yang bersifat multidisiplin dan membutuhkan kontribusi-kontribusi ilmu dalam kenyataan sehari-hari.
Kebijakan publik walaupun berakar dari ilmu politik, bukanlah menjadi monopli ilmu politik semata. Namun demikian ilmu kebijakan public ini sedang berkembang dengan pesat sesuai dengan tuntutan-tuntutan zaman.
Sejalan dengan perkembangan ini, setidak-tidaknya ada tiga dasar signifikansi studi kebijakan publik. Pertama, kenyataan tuntutan-tuntutan masyarakat yang semakin banyak dan beragam memerlukan suatu kajian berupa research and development sebelum kebijakan public ditetapkan.
Kedua, dibutuhkannya kemampuan yang mendalam bagi para pengambil kebijakan public (policy makers), analisis kebijakan publik (policy analysts) dan juga penasehat kebijakan public (policy advisers) mendorong arti penting studi dan pemahaman mengenai kebijakan public saat ini. Keterbatasan dan berbagai bentuk konstrain yang dihadapi pengambil keputusan (birokrat dan administrator public, misalnya. Seperti SDM dan juga keterbatasan waktu untuk mengkaji secara mendalam proposal kebijakan publik menghasilkan perlunya pemahaman kebijakan public dikuasai secara mendalam.
Yang terakhir, perkembangan global yang bermuara pada kempetisi dan implementasi model pasar yang berkembang pesat membutuhkan perlunya kebijakan public disusun secara strategic dalam rangka menghadapi berbagai persoalan yang melingkupi, baik yang bersifat internal maupun eksternal.

1.2   Mispersepsi Tentang Ilmu Kebijakan Publik
Mispersepsi mendasar dan sangat menyesatkan tentang ilmu kebijakan adalah bahwa ilmu kebijakan public ini merupakan bagian dari satu cabang ilmu tertentu. Misalanya adalah klaim bahwa kebijakan public itu merupakan ilmunya program administrasi Negara, atau program ilmu politik atau program ilmu politik atau program ilmu pemerintahan atau program-program studi lainnya.
Oleh karenanya dalam studi kebijakan publik juga sangat memungkinkan munculnya spesifikasi-spesifikasi khusus yang bisa secara mendalam mempelajari bidang tertentu.
1.3  Terminologi Publik
Publik menurut kamus bahasa Inggris-Indonesia (1) Masyarakat Umum, (2) rakyat. Kata ini diterjemahkan oleh beberapa kalangan berbeda-beda. Konsep Publik management ialah yang mengilhami berkembang pesatnya disiplin ilmu “public sector management”
1.4  Defenisi Kebijakan Publik
Menurut Howlett dan Ramsesh “paradigm of policy is a merging of political and organitational perspective which based on political and management approaches. Public policy is then a set of interrelated decisions taken by a political actor group of actor concerning the selection of goals”
1.5  Kebijakan Publik dan Ilmu Politik
Ilmu politik pada tataran yang paling umum dipahami sebagai ilmu yang mempelajari tentang Negara. Ilmu pemerintahan adalah bagian dari ilmu politik karena dinamika dan seluk beluk pemerintahan itulah yang menjadi focus ini.
1.6  Kebijakan Publik dan Ilmu Pemerintahan
Di Australia government studies telah lebih spesifik berkembang dengan menjelma pada kata-kata public sector management dimana ilmu ini merupakan sub bagian. Perkembangan global seperti inilah yang semestinya menurut reorientasi dan revisi misi dan visi jurusan Ilmu Pemerintahan di Indonesia yang lebih berkiblat kepada Ilmu Politik ketimbang Ilmu Manajemen pemerintahan dan kebijakan public.
1.7  Kebijakan Publik dan Administrasi Publik
Administrasi public merupakan kajian ilmu yang secara historis tidak bisa melepaskan diri dari ilmu politik. Administrasi publik, Ilmu Pemerintahan, dan Kajian Publik bersifat komplementer walaupun Ilmu administrasi public lebih memfokuskan diri pada bagaimana kebijakan umum diimplementasikan secara efektif dan efisien dalam kehidupan social politik. Ilmu Pemerintahan focus pada bagaimana kebijakan itu disusun, dan ilmu kebijakan public mengkaji secara integralistik bagaimana kebijakan itu dibuat, dilaksanakan, dievaluasi dan umpan balik yang timbul. Pembedaan ketiganya bersifat teoritik karena sebenarnya ketiga ilmu ini saling menyentuh pada bidang secara teoritik dikaji oleh ilmu tertentu.

1.8  Kebijakan Publik dan Studi Pembangunan
Pemerintah mempunyai tiga fungsi pokok yaitu pelayanan public, administrasi, dan pembangunan. Pada fungsi yang ketiga, kebijakan Pembangunan merupakan sesuatu yang jelas-jelas sangat diperlukan. Oleh karena korelasi kebijakan public dengan studi pembangunan itu sangatlah erat. Sebuah tujuan dan proses pembangunan dapat berjalan dengan baik kalau disusun dengan desain dalam kerangka siklus kebijakan public yang benar, komprehensif, dan mendalam.
1.9  Kebijakan Publik Dan Ilmu-Ilmu lainnya.
Korelasi Ilmu kebijakan public dengan ilmu-ilmu lainnyaseperti ilmu lingkungan, ilmu perkotaan (planologi), ilmu kesejahteraan social dan sebagainya sangatlah erat. Ilmu kebijakan public membutuhkan masukan-masukan ilmu tersebut dalam rangka menghasilkan kebijakan public yang rasional, akseptabel dan dapat dilaksanakan.

KONTEKS KEBIJAKAN PUBLIK
2.1 Aktor-aktor Yang terlibat dalam Kebijakan Publik
Secara umum sesungguhnya actor ini dapat dikategorikan dalam tiga domain utama, yaitu actor public, actor  privat, dan aktor masyarakat (civil society). Di Indonesia aktor ini dirinci sebagai berikut :
§         Aktor Publik meliputi aktor senior pada kementrian, cabinet, atau departemen-departemen ternetu dibawah kendali presiden.
§         Aktor Privat, beberapa kelompok seperti pressure and interest groups terlibat secara signifikan dalam agenda kebijakan public, konsultasi public, evaluasi dan juga umpan balik kebijakan public.
§         Aktor pada komunitas civil society meliputi banyak pihak baik bersifat asosiasional maupun tidak dimana banyak berkembang dikalangan masyarakat umum, mis : LSM.
2.2 Membangun Jejaring Kebijakan
            Bagi pihak pengambil kebijakan, tahapan setelah memahami aktor-aktor yang terlibat dalam sebuah proses pembuatan kebijakan public maka tahapan krusial dan penting selanjutnya yang harus dipahami adalah membentuk jejaring kebijakan. Ada tiga alas an dasar kenapa jejaring kebijakan sangat penting dan perlu dipahami oleh pembuat kebijakan, Yakni :
1.      Adanya suatu kenyataan bahwa pihak  pengambil kebijakan saat ini bukanlah the only aktor yang menentukan sebuah kebijakan.
2.      Arti penting acktor-acktor lain yang memunculkan collective decision making menyebabkan jejaring yang semakin tinggi jika dimana dengan pembuatan keputusan yang didasari atas kepentingan dan kompromi bersama akan menyebabkan tingkat akseptabilitas public yang semakin  tinggi dan signifikan.
A.     Pendekatan Advokasi Enterprenerial
Pada pendekatan ini mempunyai basis pemikiran bahwa seseorang pembuat kebijakan public harus berusaha melakukan advokasi (upaya-upaya pendukungan) semaksimal mungkin agar proposal kebijakan public yang akan ditetapkan dapat diterima dan didukung secara  kuat.
B.        Pendekatan Pengembangan Kebijakan
Pendekatan ini mempunyai dasar pemikiran tentang arti penting mendesain, mengembangkan dan mengoprasionalkan proses pembuatan keputusan dalam ruang lingkup tanggung jawab dan kewenangan pengambil kebijakan public. Contoh praktis dari pendekatan ini telah banyak dilakukan dalam konteks kebijakan nasional dan daerah di Indonesia.              
C.        Pendekatan Negoisasi
Pendekatan ini memfokuskan diri pada pemikiran agar pengambil kebijakan public harus mampu berkomunikasi dan melakukan bargaining dengan aktor-aktor lain dalam proses pembuat keputusan.
Pada tataran praktis, kebijakan penyelesaian masalah lingkungan biasanya banyak menggunakan model ini. Kasus kali Tapak, Kasus pencemaran PT Kayu Lapis Indonesia (Semarang dan Kendal) merupakan salah satu contoh dari model ini.
Namun demikian ada kelemahan mendasar dari pendekatan negosiasi ini. Kelemahan tersebut adalah bahwa bisa saja negosiator-negosiator yang dikirim hanya berbuat untuk memenuhi kepentingan pribadinya daripada kepentingan-kepentingan public. Ini merupakan kenyataan yang sesungguhnya gampang diucapkan tetapi sangat sulit untuk dilakukan secara konsisten.
D.        Pendekatan Deliberasi Publik
Pendekatan ini mendasarkan dan banyak dipangaruhi oleh teori-teori pembelajaran (social learning), Kepemimpinan (leadership) dan deliberasi public (public deliberasi). Berbeda dengan pendekatan pengembangan kebijakan public (yang berorientasi pada struktur tanggungjawab dan kewenangan), pendekatan deliberasi public ini meyakini dan menyarankan perlunya pelibatan public yang lebih luas yang tidak saja melibatkan struktur formal tetapi juga pihak-pihak diluar sktrukur formal tersebut.
E.         Pendekatan Komunikasi Strategis
Pendekatan ini mendasarkan diri pada pemikiran bahwa kemampuan persuasi, pemasaran dan komunikasi lainnya sangat penting dimiliki oleh para pembuat kebijakan. Model pemasaran kebijakan public (mungkin mirip dengan konsep sosialisasi program) ditujukan untuk meningkatkan akuntabilitas public kepada masyarakat banyak.
2.2 Kelembagaan Dalam Kebijakan
            Aspek kelembagaan akan banyak menentukan dalam setiap siklus kebijakan  yang dimulai dari perencanaan sampai umpan balik. Ada beberapa alasan mengapa aspek kelembagaan penting yaitu :
-         Lembagalah yang pada akhirnya akan menentukan apakah sebuah proposal kebijakan public akan terus dip rotes.
-         Karena kelembagaan bersifat kolektif dalam penentuan kebijakn public, pemahaman tentang aspek koordinasi, kolaborasi, dan kerjasama antar lembaga dalam porses kebijakan public menjadi sangat penting.
-         Lembaga menentukan inovasi-inovasi yang diperlukan untuk membuat atau menindaklanjuti persoalan-persoalan public.
2.3  Kebijakan Dalam Proses Politik
Sebagai bagian dari proses politik, tentunya kebijakan public akan berkaitan dengan isu-isu dan aktor-aktor politik. Isu-isu politik ini akan memasuki proses kebijakan politik melalui fungsi artikulasi dan agregasi kepentingan. Artikulasi kepentingan adalah suatu proses merumuskan berbagai isu kebijakan yang berbeda yang kemudian disampaikan untuk menjadi agenda kebijakan.
2.4  Siklus Kebijakan
Siklus kebijakan sebenarnya tidak lebih sebagai suatu upaya untuk membuat proses dan ritme kebijakan dapat berjalan dengan baik. Siklus kebijakan dimulai dari identifikasi isu-isu, kemudian berporses melalaui analisis dan implementasi, terus kemudian evaluasi dari dampak-dampak kebijakan kemudian dilanjutkan dengan umpan balik kebijakan, dan seterusnya umpan balik ini kembali menjadi bagian dari identifikasi isu-isu tersebut.

sumber: irfanlanggo
 

MENGAPA KEBIJAKAN PUBLIK TAK MAMPU SELESAIKAN BANGSA?

“Demokrasi kita hingga sekarang baru mencapai demokrasi parlemen, demokrasi pale; demokrasi yang baru omong doang. Tahapan kita baru talking democracy, belum working democracy.” (Jacob Oetomo,Agustus 2008).

DALAM SEBUAH NEGARA yang memiliki pemerintahan demokratis, kebijakan publik menjadi persoalan yang krusial, mendesak, dan sekaligus strategis. Berbeda dengan sebuah pemerintahan yang bercorak otoriter atau diktatorial. Disitu kebijakan publik tidak penting terutama dari aspek sosial dan politik. Namun, dari aspek ekonomi, kebijakan publik tetap penting. Indonesia adalah negara demokratis, sehingga kedudukan kebijakan publik sangat penting dan dibutuhkan. Terutama dalam memecahkan masalah-masalah pembangunan dan persoalan publik lainnya. Namun, saat ini, banyak masalah pembangunan yang tetap saja bermunculan dan biasanya adalah masalah lama yang telah mendapatkan respon dan penanganan pemerintah, dalam wujud kebijakan publik.

Pertanyaannya, mengapa berbagai kebijakan publik yang telah dirumuskan dan dilaksanakan selama ini masih belum menyelesaikan persoalan-persoalan bangsa yang terbilang akut, seperti kemiskinan, korupsi, dan diskriminasi pelayanan.

Kita dapat mengacu kepada pernyataan DR Riant Nugroho (2009), bahwa pemerintahan yang cakap ditunjukkan melalui keberadaan pemerintahan yang mampu menjalankan dua tugas pokoknya, yaitu membangun kebijakan publik yang unggul (excellence public policy) dan melayani publik secara prima (first-rate public service).

“Regardless the ideology, political system, its reform and turbulence … Regardless the “democracy” or “discounted democracy” they have …. Regardless they are nations with abundant natural resources or scarcity …. What matter is ‘how excellence is their public policy!”.
Keunggulan dan kemajuan setiap negara-bangsa di dunia kontemporer dan di masa depan ditentukan oleh fakta apakah negara-bangsa tersebut mampu mengembangkan dan memiliki kebijakan publik yang unggul. Bagaimanakah kebijakan publik yang unggul itu.

Kebijakan publik yang unggul terdiri dari tiga kata kunci. Kebijakan, publik, dan unggul. Masing-masing memiliki pengertiannya yang berbeda-beda. Kebijakan berarti keputusan yang otoritatif, yang dibuat oleh mereka atau seseorang yang memagang otoritas, secara formal maupun informal (Riant, 2009). Menurut Kamus Besar bahasa Indonesia, kebijakan adalah rangkaian konsep dan asas yang menjadi pedoman dan dasar rencana dalam pelaksanaan suatu pekerjaan, kepemimpinan, dan cara bertindak. Publik berarti sekelompok orang yang terikat dengan suatu isu tertentu (Riant, 2009).
Pengertian lainnya, bagi Kamus Besar Bahasa Indonesia, publik adalah mengenai orang atau masyarakat, dimiliki masyarakat, serta berhubungan dengan, atau memengaruhi suatu bangsanegara, atau komunitas. Sedangkan unggul adalah yang terbaik daripada yang lain, lebih tinggi (Kamus Besar Bahasa Indonesia).

Menurut Wikipedia, unggul atau excellence adalah a talent or quality which is unusually good and so surpasses ordinary standards. It is also an aimed for standard of performance (sebuah bakat atau kualitas yang luarbiasa baik dan melampaui batasan standar pada umumnya).

Dari pengertian ketiga kata tersebut dapat kita bangun definisi kebijakan publik yang unggul, yakni: setiap keputusan yang dibuat oleh pejabat penyelenggara negara atau yang memegang otoritas yang menjadi pedoman, standar kinerja, atau dasar perencanaan dalam pelaksanaan suatu pekerjaan, kepemimpinan, dan/atau cara bertindak, yang berkaitan dengan atau mempengaruhi hajat hidup orang banyak dalam kualitas yang melampaui standar umum yang berlaku. Kebijakan publik ini, bagi PATTIRO, merupakan strategi untuk merealisasikan tujuan dari kehidupan berbangsa dan bernegara. Oleh karena itu, PATTIRO menempatkan kebijakan publik sebagai bagian penting dan fokus gerakannya untuk memperbaiki, meningkatkan, dan mengembangkan situasi berbangsa dan bernegara.

Monday 6 May 2013

EVALUASI KEBIJAKAN PUBLIK

Apa yang dimaksud dengan Evaluasi Kebijakan ?
Adalah kegiatan yang menyangkut estimasi atau penilaian kebijakan yang mencakup substansi, implementasi dan dampak (Anderson: 1975). Evaluasi kebijakan dipandang sebagai suatu kegiatan fungsional. Artinya, evaluasi kebijakan tidak hanya dilakukan pada tahap akhir saja melainkan kepada seluruh proses kebijakan.
Beberapa Pengertian Evaluasi
         Menurut W. Dunn, istilah evaluasi mempunyai arti yang berhubungan, masing-masing menunjuk pada aplikasi beberapa skala nilai terhadap hasil kebijakan dan program.
         Evaluasi mencakup kesimpulan + klarifikasi + kritik + penyesuaian dan perumusan masalah kembali.
         Analisis Kebijakan 
                        
Menurut Lester dan Stewart, evaluasi kebijakan dapat dibedakan ke dalam dua tugas yang berbeda :
a. Untuk menentukan konsekuensi-konsekuensi apa yang ditimbulkan oleh suatu kebijakan dengan cara menggambarkan dampaknya.
b.  Untuk menilai keberhasilan atau kegagalan dari suatu kebijakan berdasarkan standard atau kriteria yang telah ditetapkan sebelumnya. 
  Jenis evaluasi kebijakan :
James Anderson membagi evaluasi kebijakan ke dalam tiga jenis:
a. Evaluasi kebijakan dipahami sebagai kegiatan fungsional. Menyangkut prihal kepentingan (interest) dan ideologi dari kebijakan.
b. Evaluasi yang memfokuskan diri pada bekerjanya kebijakan atau program-program tertentu.
c. Evaluasi kebijakan sistematis. Melihat secara obyektif program–program kebijakan yang dijalankan untuk mengukur dampaknya bagi masyarakat dan melihat sejauh mana tujuan-tujuan yang telah dinyatakan tersebut dicapai. Menjawab kontribusi dampak dalam menjawab kebutuhan masyarakat.
Langkah Evaluasi Kebijakan
Edward A. Schuman mengemukakan 6 langkah dalam evaluasi kebijakan, yaitu:
1. Mengidentifikasi tujuan program yang akan dievaluasi
2. Analisis terhadap masalah
3. Deskripsi dan Standarisasi kegiatan
4. Pengukuran terhadap tingkatan perubahan yang terjadi
5. Menentukan apakah perubahan yang diamati merupakan akibat dari kegiatan tersebut atau karena penyebab yang lain.
6. Beberapa indikator untuk menentukan keberadaan suatu dampak.
 
Evaluasi dalam Analisis Kebijakan
Sifat Evaluasi
1.      Fokus Nilai
2.      Interdependensi Fakta-Nilai, Pemantauan : prasyarat
3.      Orientasi Masa Kini dan Masa lampau –Ex Post, beda dengan tuntutan advokatif
4.       Dualitas Nilai (tujuan-cara)
Fungsi Evaluasi?
 
Evaluasi memainkan sejumlah fungsi utama dalam analisis kebijakan.
  1. Pertama, dan yang paling penting, evaluasi memberi informasi yang valid dan dapat dipercaya mengenai kinerja kebijakan, yaitu, seberapa jauh kebutuhan, nilai dan kesempatan telah dapat dicapai melalui tindakan publik.  Dalam hal ini, evaluasi mengungkapkan seberapa jauh tujuan-tujuan tertentu (misalnya, perbaikan kesehatan) dan target tertentu.
  2. Kedua, evaluasi memberi sumbangan pada klarifikasi dan kritik terhadap nilai-nilai yang mendasari pemilihan tujuan dan target.  Nilai diperjelas dengan mendefinisikan dan mengoperasikan tujuan dan target.  Nilai juga dikritik dengan menanyakan secara sistematis kepantasan tujuan dan target dalam hubungan dengan masalah yang dituju.  Dalam menanyakan kepantasan tujuan dan sasaran, analis dapat menguji alternatif.sumber nilai maupun landasan mereka dalam berbagai bentuk rasionalitas (teknis, ekonomis, legal, sosial, substantif).
  3. Ketiga, evaluasi memberi sumbangan pada aplikasi metode-metode analisis kebijakan lainnya, termasuk perumusan masalah dan rekomendasi.  Informasi tentang tidak memadainya kinerja kebijakan dapat memberi sumbangan pada perumusan ulang masalah kebijakan, sebagai contoh, dengan menunjukkan bahwa tujuan dan target perlu didefinisikan ulang.  Evaluasi dapat pula menyumbang pada definisi alternatif kebijakan yang baru atau revisi kebijakan dengan menunjukkan bahwa alternatif kebijakan yang diunggulkan sebelumnya perlu dihapus dan diganti dengan yang lain.
Evaluasi dengan Rekomendasi?
Ex Post, retrospektif- Ex Ante, prospektif 
Pendekatan Evaluasi
  1. Evaluasi Semu
  2. Evaluasi Formal
  3. Evaluasi Keputusan teoritis
Evaluasi Semu
  1. Asumsi : Ukuran manfaat atau nilai terbukti dengan sendirinya
  2. Contoh: Jumlah lulusan pelatihan, Jumlah unit pelayanan medis yang diberikan
  3. Teknik: sajian grafik, tampilan Tabel, angka indeks, Analisis seri waktu
Evaluasi Formal
  1. Asumsi : Tujuan dan sasaran dari pengambil kebijakan dan administrator yang secara remi diumumkan merupakan ukuran yang tepat dari manfaat atau nilai
  2. Contoh: Evaluasi program pendidikan
  3. Teknik : Pmetaan sasaran, pemetaan hambatan, klarifikasi nilai, kritik nilai, analisis crosstab
Evaluasi keputusan teoritis
  1. Asumsi : Tujuan dan sasaran dari berbagai pelaku yang diumumkan secara formal ataupun ‘diam-diam’
  2. Cara untuk  mengatasi kekurangan evaluasi semu dan formal (Kurang dan tidak dimanfaatkannya informasi kinerja, Ambiuitas kinerja tujuan, Tujuan-tujuan yang saling bertentangan)
  3. Tujuan Utama : menghubungkan informasi mengenai hasil-hasil kebijakan dengan nilai-nilai dari berbagaipelaku kebijakan
  4. Teknik: Brainstorming, analisis argumentasi, Analisi survai–pemakai
 
Evaluasi Kebijakan
  1. Para pelaku yang terlibat dalam tahap perumusan dan implementasi kebijakan, cenderung untuk memandang evaluasi dari sudut asumsi dan prosedur sehubungan dengan pencPapaian tujuan utama.
  2. POLICY MAKERS: cenderung memandang evaluasi dari segi kepentingan constituents, karena kekuasaan mereka tergantung pada dukungan rakyat yang diwakili mereka. Cara evaluasi kebijakan adalah melalui survei terhadap kepuasan rakyat.
  3. POLICY IMPLEMENTERS: cenderung memandang evaluasi dari segi keberhasilan mengelola program. Karena itu ada kecenderungan untuk menguasai dan mempengaruhi informasi yang diberikan pada  policy decision makers. Caranya:
    1. Memilih data dan informasi yang mendukung kinerja
    2. Memobilisasi dukungan terhadap kebijakan
Evaluasi Teknis
  1. Evaluasi oleh pihak ketiga; yaitu oleh evaluator professional, lebih menekankan pada cara evaluasi yang secara metodologis  dapat dipertanggung jawabkan (scientifically valid findings)
  2. Policy Makers atau implementer akan menerima hasil evaluasi oleh profesional sebagai evaluator teknis, apabila dipenuhi persyaratan tertentu:
    1. Tujuan yang diinginkan oleh policy makers telah dipahami dengan benar oleh evaluator teknis;
    2. Pencapaian tujuan diukur dengan obyektif
    3. Laporan evaluasi menjelaskan hubungan antara tujuan dengan hasil program
  3. Sebaliknya, evaluator teknis hanya bisa melaksanakan tugasnya, apabila:
    1. Tujuan kebijakan jelas
    2. Tujuan dapat diukur
    3. Implementasi diarahkan untuk mencapai tujuan
    4. Tersedia cukup data yang diperlukan
  1. Meskipun evaluasi teknis bersifat obyektif, hasil evaluasi mempunyai konsekuensi terhadap policy makers maupun policy implementers.
HAKIKAT EVALUASI PUBLIK
Kebijakan publik tidak bisa dilepas begitu saja. kebijakan harus diawasi, dan salah satu mekanisme pengawasan tersebut disebut sebagai “evaluasi kebijakan”.  Evaluasi biasanya ditujukan untuk menilai sejauh mana keefektifan kebijakan publik guna dipertanggungjawabkan kepada konstituennya. Sejauh mana tujuan dicapai. Evaluasi diperlukan untuk melihat kesenjangan antara “harapan” dengan “kenyataan”.
Tujuan pokok dari evaluasi bukanlah untuk menyalah-nyalahkan melainkan untuk melihat seberapa besar kesenjangan antara pencapaian dan harapan dari suatu kebijakan publik. Tugas selanjutnya adalah bagaimana mengurangi atau menutup kesenjangan tersebut. Jadi evaluasi kebijakan bertujuan mencari kekurangan dan menutup kekurangan.
 
Tiga lingkup makna evaluasi kebijakan publik
  1. evaluasi perumusan kebijakan.
  2. evaluasi implementasi kebijakan.
  3. evaluasi lingkungan kebijakan.
  Empat fungsi evaluasi kebijakan publik
  1. Fungsi Eksplanasi. Melalui evaluasi dapat dipotret realitas pelaksanaan program dan dapat dibuat suatu generalisasi tentang pola-pola hubungan antar berbagai dimensi realitas yang diamatinya. Dari evaluasi ini evaluator dapat mengindentifikasi masalah, kondisi dan aktor yang mendukung keberhasilan atau kegagalan kebijakan.
  2. Fungsi Kepatuhan. Melalui evaluasi dapat diketahui apakah tindakan yang dilakukan oleh para pelaku, baik birokrasi maupun pelaku lainnya sesuai dengan standar dan prosedur yang ditetapkan oleh kebijakan.
  3. Fungsi Audit. Melalui evaluasi dapat diketahui, apakah output benar-benar sampai ke tangan kelompok sasaran kebijakan, atau justru ada kebocoran atau penyimpangan.
  4. Fungsi Akunting. Dengan evaluasi dapat diketahui apa akibat sosial ekonomi dari kebijakan tersebut.
Evaluasi Formulasi Kebijakan Publik
Secara umum, evaluasi formulasi kebijakan publik berkenaan dengan apakah formulasi kebijakan publik telah dilaksanakan:
  1. Menggunakan pendekatan yang sesuai dengan masalah yang hendak diselesaikan, karena setiap masalah publik memerlukan model formulasi kebijakan publik berlainan.
  2. Mengarah kepada permasalahan inti, karena setiap pemecahan masalah harus benar-benar mengarah kepada inti permasalahannya.
  3. Mengikuti prosedur yang diterima secara bersama, baik dalam rangka keabsahan maupun juga dalam rangka kesamaan dan keterpaduan langkah perumusan;
  4. Mendayagunakan sumber daya ada secara optimal, baik dalam bentuk sumber daya waktu, dana, manusia, dan kondisi lingkungan strategis.
11 model evaluasi formulasi kebijakan publik
  1. model kelembagaan
  2. model proses
  3. model kelompok
  4. model elit
  5. model  rasional
  6. model inkremental
  7. model teori permainan
  8. model pilihan publik, dan
  9. model sistem
  10. model demokratis
  11. model perumusan strategis
Evaluasi Implementasi Kebijakan Publik
Menurut  Prof. Sofyan Effendi, tujuan dari evaluasi implementasi kebijakan publik adalah untuk mengetahui variasi dalam indikator-indikator kinerja yang digunakan untuk menjawab tiga pertanyaan pokok, yaitu :
  1. Bagaimana kinerja implementasi kebijakan publik? Jawabannya berkenaan dengan kinerja implementasi publik (variasi dari outcome) terhadap variabel independen tertentu.
  2. Faktor-faktor apa saja menyebabkan variasi itu? jawabannya berkenaan faktor kebijakan itu sendiri, organisasi implementasi kebijakan, dan lingkungan implementasi kebijakan yang mempengaruhi variasi outcome dari implementasi kebijakan.
  3. OutPut/ keluarannya sepertia apa? Jawabannya sangat tergantung
Evaluasi implementasi kebijakan dibagi tiga menurut timing evaluasi :
  1. Evaluasi sebelum pelaksanaan yang disebut  William Dunn (1999) sebagai evaluasi summatif.
  2. Evaluasi pada waktu pelaksanaan biasanya disebut evaluasi proses.
  3. Evaluasi setelah kebijakan yang juga disebut sebagai evaluasi konsekuensi (output) kebijakan dan/atau evaluasi impak/pengaruh (output) kebijakan.
Tiga Pendekatan dalam Evaluasi Kebijakan Publik
1.      Pendekatan Evaluasi Semu
A. Tujuan:
Menggunakan metode deskriptif Untuk menghasilkan Informasi valid Tentang hasil kebijakan
 B. Asumsi:
Ukuran manfaat atau terbukti dengan sendirinya atau tidak kontroversial
C.  Bentuk-Bentuk Utama:
 Eksperimentasi sosial Akuntansi sistem Sosial Pemeriksaan sosial Sintesis riset dan praktek
D. Teknik:
Sajian grafik Tampilan tabel Angka indeks Analisis seri waktu terinterupsi Analisis seri terkontrol Analisis diskontinyu regresi
2.      Pendekatan Evaluasi Formal
A. Tujuan:
Menggunakan metode deskriptif untuk menghasilkan informasi yang terpercaya dan valid mengenai hasil kebijakan secara formal diumumkan sebagai tujuan program kebijakan.
B. Asumsi:
Tujuan dan Sasaran dari pengambilan dan administrator yang secara resmi diumumkan merupakan ukuran yang tepat dan manfaat atau nilai.
C. Bentuk-bentuk Utama:
Evaluasi perkembangan Evaluasi Eksperimental Evaluasi proses Retrospektif (expost) evaluasi hasil retrospektif.
D. Teknik:
Pemetaan sasaran klarifikasi nilai kritik nilai pemetaan hambatan Analisis dampak saling Disecounting
3.      Pendekatan Evaluasi Keputusan Teoritis
A.    Tujuan:
Menggunakan metode deskriptif untuk menghasilkan informasi yang terpercaya dan valid mengenai hasil kebijakan yang secara eksplisit diinginkan oleh berbagai pelaku kebijakan.
B.     Asumsi:
Tujuan dan sasaran dari berbagai pelaku yang diumumkan secara formal ataupun diam merupakan ukuran yang tepat dari manfaat atau nilai.
C.     Bentuk-bentuk Utama:
Penilaian tentang Dapat tidaknya Dievaluasi Analisis uitilitas multi-atribut.
D.    Teknik:
Brainstorming Analisis argumentasi delphi kebijakan Analisis Survei Pemakai.
James P. Lester dan Joseph Steward Jr. (2000), mengelompokkan evaluasi implementasi kebijakan:
  1. evaluasi yang berkenaan dengan proses implementasi,
  2. evaluasi impak atau evaluasi berkenaan dengan hasil dan/atau pengaruh dari implementasi kebijakan,
  3. evaluasi kerjakan yaitu apakah benar hasil yang dicapai mencerminkan tujuan yang dikehendaki, dan
  4. evaluasi metaevaluasi yang berkenaan dengan untuk menemukan kesamaan-kesamaan tertentu.
Ernest R. House (1980) membuat taksonomi evaluasi yang cukup berbeda, yang membagi model evaluasi menjadi :
  1. model sistem, dengan indikator utama adalah efisiensi.
  2. model perilaku, dengan indikator utama adalah reduktivitas dan akuntabilitas.
  3. model formulasi keputusan, dengan indikator utama adalah keefektifan dan keterjagaan kualitas.
  4. model tujuan bebas (goal free), dengan indikator utama adalah pilihan pengguna dan manfaat sosial.
  5. model kekritisan seni (art criticism), dengan indikator utama adalah standar yang semakin baik dan kesadaran yang semakin meningkat.
  6. model review profesional, dengan indikator utama adalah penerimaan profesional.
  7. model kuasi-legal (quasi-legal), dengan indikator utama adalah resolusi, dan
  8. model studi kasus, dengan indikator utama adalah pemahaman atas diversitas.
Ada pula pemilahan evaluasi sesuai dengan teknik evaluasi kebijakan berdasarkan rentang sejarah munculnya kebijakan-kebijakan
  1. evaluasi komparatif, yaitu membandingkan implementasi kebijakan (proses dari hasilnya) dengan implementasi kebijakan yang sama atau berlainan, di satu tempat yang sama atau berlainan.
  2. evaluasi historilal, yaitu membuat evaluasi kebijakan berdasarkan rentang sejarah munculnya kebijakan-kebijakan tersebut.
  3. evaluasi laboratorium atau eksperimental, yaitu evaluasi namun menggunakan eksperimen yang diletakkan dalam sejenis laboratorium.
  4. evaluasi ad hock, yaitu evaluasi yang dilakukan secara mendadak dalam waktu segera dengan tujuan untuk mendapatkan gambar pada saat itu (snap shot).
James Andeson membagi evaluasi (implementasi) kebijakan publik menjadi tiga Tipe
  1. Pertama, evaluasi kebijakan publik yang dipahami sebagai kegiatan fungsional.
  2. Kedua, evaluasi yang memfokuskan kepada bekerjanya kebijakan.
  3. Ketiga, evaluasi kebijakan sistematis yang melihat secara obyektif program-program kebijakan yang ditujukan untuk mengukur dampaknya bagi masyarakat dan sejauh mana tujuan-tujuan yang ada telah dinyatakan telah dicapai (dikutip Winarno, 2002, 168).
Edward A. Suchman (dikutip Winarno, 2002, 169) di sisi lain lebih masuk ke sisi praktis dengan mengemukakan enam langkah dalam evaluasi kebijakan, yaitu :
  1. mengidetifikasi tujuan program yang akan dievaluasi,
  2. analisis terhadap masalah,
  3. deskripsi dan standardisasi kegiatan,
  4. pengukuran terhadap tingkatan perubahan yang terjadi,
  5. menentukan apakah perubahan yang diamati merupakan akibat dari kegiatan tersebut atau karena penyebab yang lain,
  6. beberapa indikator untuk menentuan keberadaan suatu dampak.
Dari berbagai-bagai ragam dan teknik evaluasi implementasi tersebut, pertanyaannya adalah mana yang hendak digunakan? Jawabannya juga tidak berbeda,  tergantung kebutuhan evaluator. Keseluruhan model tersebut di atas mencerminkan ragam dari kebutuhan evaluator, baik yang digerakkan dari perbedaan kepentingan, perbedaan latar belakang, perbedaan tujuan, perbedaan keberadaan (pemerintah atau target), perbedaan waktu, dan lain-lain.
evaluasi kebijakan yang baik harus mempunyai beberapa syarat pokok:
  1. tujuannya menemukan hal-hal yang strategis untuk meningkatkan kinerja kebijakan.
  2. yang bersangkutan harus mampu mengambil jarak dari pembuat kebijakan, pelaksana kebijakan, dan target kebijakan.
  3. Prosedur evaluasi harus dapat dipertanggungjawabkan secara metodologi.
Petunjuk praktis evaluasi implementasi kebijakan publik
    
                                                                                                                                         
Keterangan Gambar
  1. evaluator harus menyesuaikan alat ukurnya dengan model atau metode implementasi kebijakan. Pada dasarnya, setiap metode implementasi kebijakan di dalam dirinya telah menyediakan alat ukur bagi keberhasilan/kinerja implementasi kebijakan.
  2. evaluator harus menyesuaikan evaluasinya dengan tujuan dari evaluator yang dibebankan kepadanya.
  3. Evaluator harus menyesuaikan diri evaluasinya dengan kompetensi keilmuan dan metodologis yang dimilikinya.
  4. Seorang evaluator dengan kompetensi ekonomi diharapkan tidak melakukan evaluasi politik.
  5. evaluator harus  menyesuaikan diri dengan sumber daya yang dimiliki, mulai sumber daya waktu, manusia, alat atau teknologi, dana, sistem, manajemen, bahkan sumber daya kepemimpinan yang ada.
  6. evaluator harus menyesuaikan diri dengan lingkungan evaluasi, agar ia bisa diterima dengan baik di lingkungan yang akan dievaluasinya.
Evaluasi Lingkungan Kebijakan Publik
Jenis evaluasi ini mendapat sedikit sekali perhatian, baik dari praktisi maupun akademisi evaluasi kebijakan publik. Kenyataan ini harus diakui karena sesungguhnya, sekuat apa pun pengaruh lingkungan, ia merupakan faktor yang berada di luar kendali dari kebijakan publik. Karena itu, acapkali lingkungan “dikeluarkan” dari  evaluasi kebijakan publik.
Namun Demikian Perkembangan terkini membuktikan bahwa keberhasilan dan kegagalan kebijakan tidak lagi ditentukan oleh keandalan kebijakan dan implementasinya, namun dukungan lingkungan. Konteks “lingkungan” dikedepankan karena perubahan yang terjadi hari ini dan dimasa depan adalah perubahan dalam volume yang besar dan cepat. Kenyataan ini begitu mencemaskan karena tidak banyak melihat sebuah kebijakan ketika selesai dibuat, mendadak sudah menjadi usang karena perubahan.
 

Menurut Lester dan Stewart, evaluasi kebijakan dapat dibedakan ke dalam dua tugas yang berbeda :
a. Untuk menentukan konsekuensi-konsekuensi apa yang ditimbulkan oleh suatu kebijakan dengan cara menggambarkan dampaknya.
b.  Untuk menilai keberhasilan atau kegagalan dari suatu kebijakan berdasarkan standard atau kriteria yang telah ditetapkan sebelumnya. 
Tipe evaluasi kebijakan :
James Anderson membagi evaluasi kebijakan ke dalam tiga tipe:
a. Evaluasi kebijakan dipahami sebagai kegiatan fungsional. Menyangkut prihal kepentingan (interest) dan ideologi dari kebijakan.
b. Evaluasi yang memfokuskan diri pada bekerjanya kebijakan atau program-program tertentu.
c. Evaluasi kebijakan sistematis. Melihat secara obyektif program–program kebijakan yang dijalankan untuk mengukur dampaknya bagi masyarakat dan melihat sejauh mana tujuan-tujuan yang telah dinyatakan tersebut dicapai. Menjawab kontribusi dampak dalam menjawab kebutuhan masyarakat.
Langkah Evaluasi
Edward A. Schuman mengemukakan 6 langkah dalam evaluasi kebijakan, yaitu:
1. Mengidentifikasi tujuan program yang akan dievaluasi
2. Analisis terhadap masalah
3. Deskripsi dan Standarisasi kegiatan
4. Pengukuran terhadap tingkatan perubahan yang terjadi
5. Menentukan apakah perubahan yang diamati merupakan akibat dari kegiatan tersebut atau karena penyebab yang lain.
6. Beberapa indikator untuk menentukan keberadaan suatu dampak.
 
Evaluasi dalam Analisis Kebijakan
Sifat Evaluasi
1.      Fokus Nilai
2.      Interdependensi Fakta-Nilai, Pemantauan : prasyarat
3.      Orientasi Masa Kini dan Masa lampau –Ex Post, beda dengan tuntutan advokatif
4.       Dualitas Nilai (tujuan-cara)
Fungsi Evaluasi?
 
Evaluasi memainkan sejumlah fungsi utama dalam analisis kebijakan.
  1. Pertama, dan yang paling penting, evaluasi memberi informasi yang valid dan dapat dipercaya mengenai kinerja kebijakan, yaitu, seberapa jauh kebutuhan, nilai dan kesempatan telah dapat dicapai melalui tindakan publik.  Dalam hal ini, evaluasi mengungkapkan seberapa jauh tujuan-tujuan tertentu (misalnya, perbaikan kesehatan) dan target tertentu.
  2. Kedua, evaluasi memberi sumbangan pada klarifikasi dan kritik terhadap nilai-nilai yang mendasari pemilihan tujuan dan target.  Nilai diperjelas dengan mendefinisikan dan mengoperasikan tujuan dan target.  Nilai juga dikritik dengan menanyakan secara sistematis kepantasan tujuan dan target dalam hubungan dengan masalah yang dituju.  Dalam menanyakan kepantasan tujuan dan sasaran, analis dapat menguji alternatif.sumber nilai maupun landasan mereka dalam berbagai bentuk rasionalitas (teknis, ekonomis, legal, sosial, substantif).
  3. Ketiga, evaluasi memberi sumbangan pada aplikasi metode-metode analisis kebijakan lainnya, termasuk perumusan masalah dan rekomendasi.  Informasi tentang tidak memadainya kinerja kebijakan dapat memberi sumbangan pada perumusan ulang masalah kebijakan, sebagai contoh, dengan menunjukkan bahwa tujuan dan target perlu didefinisikan ulang.  Evaluasi dapat pula menyumbang pada definisi alternatif kebijakan yang baru atau revisi kebijakan dengan menunjukkan bahwa alternatif kebijakan yang diunggulkan sebelumnya perlu dihapus dan diganti dengan yang lain.
Evaluasi dengan Rekomendasi?
Ex Post, retrospektif- Ex Ante, prospektif 
Pendekatan Evaluasi
  1. Evaluasi Semu
  2. Evaluasi Formal
  3. Evaluasi Keputusan teoritis
Evaluasi Semu
  1. Asumsi : Ukuran manfaat atau nilai terbukti dengan sendirinya
  2. Contoh: Jumlah lulusan pelatihan, Jumlah unit pelayanan medis yang diberikan
  3. Teknik: sajian grafik, tampilan Tabel, angka indeks, Analisis seri waktu
Evaluasi Formal
  1. Asumsi : Tujuan dan sasaran dari pengambil kebijakan dan administrator yang secara remi diumumkan merupakan ukuran yang tepat dari manfaat atau nilai
  2. Contoh: Evaluasi program pendidikan
  3. Teknik : Pmetaan sasaran, pemetaan hambatan, klarifikasi nilai, kritik nilai, analisis crosstab
Evaluasi keputusan teoritis
  1. Asumsi : Tujuan dan sasaran dari berbagai pelaku yang diumumkan secara formal ataupun ‘diam-diam’
  2. Cara untuk  mengatasi kekurangan evaluasi semu dan formal (Kurang dan tidak dimanfaatkannya informasi kinerja, Ambiuitas kinerja tujuan, Tujuan-tujuan yang saling bertentangan)
  3. Tujuan Utama : menghubungkan informasi mengenai hasil-hasil kebijakan dengan nilai-nilai dari berbagaipelaku kebijakan
  4. Teknik: Brainstorming, analisis argumentasi, Analisi survai–pemakai
 
Evaluasi Kebijakan
  1. Para pelaku yang terlibat dalam tahap perumusan dan implementasi kebijakan, cenderung untuk memandang evaluasi dari sudut asumsi dan prosedur sehubungan dengan pencPapaian tujuan utama.
  2. POLICY MAKERS: cenderung memandang evaluasi dari segi kepentingan constituents, karena kekuasaan mereka tergantung pada dukungan rakyat yang diwakili mereka. Cara evaluasi kebijakan adalah melalui survei terhadap kepuasan rakyat.
  3. POLICY IMPLEMENTERS: cenderung memandang evaluasi dari segi keberhasilan mengelola program. Karena itu ada kecenderungan untuk menguasai dan mempengaruhi informasi yang diberikan pada  policy decision makers. Caranya:
    1. Memilih data dan informasi yang mendukung kinerja
    2. Memobilisasi dukungan terhadap kebijakan
Evaluasi Teknis
  1. Evaluasi oleh pihak ketiga; yaitu oleh evaluator professional, lebih menekankan pada cara evaluasi yang secara metodologis  dapat dipertanggung jawabkan (scientifically valid findings)
  2. Policy Makers atau implementer akan menerima hasil evaluasi oleh profesional sebagai evaluator teknis, apabila dipenuhi persyaratan tertentu:
    1. Tujuan yang diinginkan oleh policy makers telah dipahami dengan benar oleh evaluator teknis;
    2. Pencapaian tujuan diukur dengan obyektif
    3. Laporan evaluasi menjelaskan hubungan antara tujuan dengan hasil program
  3. Sebaliknya, evaluator teknis hanya bisa melaksanakan tugasnya, apabila:
    1. Tujuan kebijakan jelas
    2. Tujuan dapat diukur
    3. Implementasi diarahkan untuk mencapai tujuan
    4. Tersedia cukup data yang diperlukan
  1. Meskipun evaluasi teknis bersifat obyektif, hasil evaluasi mempunyai konsekuensi terhadap policy makers maupun policy implementers.
HAKIKAT EVALUASI
Sebuah kebijakan publik tidak bisa dilepas begitu saja. kebijakan harus diawasi, dan salah satu mekanisme pengawasan tersebut disebut sebagai “evaluasi kebijakan”.  Evaluasi biasanya ditujukan untuk menilai sejauh mana keefektifan kebijakan publik guna dipertanggungjawabkan kepada konstituennya. Sejauh mana tujuan dicapai. Evaluasi diperlukan untuk melihat kesenjangan antara “harapan” dengan “kenyataan”.
Tujuan pokok dari evaluasi bukanlah untuk menyalah-nyalahkan melainkan untuk melihat seberapa besar kesenjangan antara pencapaian dan harapan dari suatu kebijakan publik. Tugas selanjutnya adalah bagaimana mengurangi atau menutup kesenjangan tersebut. Jadi evaluasi kebijakan bertujuan mencari kekurangan dan menutup kekurangan.
 
Tiga lingkup makna evaluasi kebijakan publik
  1. evaluasi perumusan kebijakan.
  2. evaluasi implementasi kebijakan.
  3. evaluasi lingkungan kebijakan.
4 fungsi evaluasi kebijakan publik
  1. Eksplanasi. Melalui evaluasi dapat dipotret realitas pelaksanaan program dan dapat dibuat suatu generalisasi tentang pola-pola hubungan antar berbagai dimensi realitas yang diamatinya. Dari evaluasi ini evaluator dapat mengindentifikasi masalah, kondisi dan aktor yang mendukung keberhasilan atau kegagalan kebijakan.
  2. Kepatuhan. Melalui evaluasi dapat diketahui apakah tindakan yang dilakukan oleh para pelaku, baik birokrasi maupun pelaku lainnya sesuai dengan standar dan prosedur yang ditetapkan oleh kebijakan.
  3. Audit. Melalui evaluasi dapat diketahui, apakah output benar-benar sampai ke tangan kelompok sasaran kebijakan, atau justru ada kebocoran atau penyimpangan.
  4. Akunting. Dengan evaluasi dapat diketahui apa akibat sosial ekonomi dari kebijakan tersebut.
Evaluasi Formulasi Kebijakan Publik
Secara umum, evaluasi formulasi kebijakan publik berkenaan dengan apakah formulasi kebijakan publik telah dilaksanakan:
  1. Menggunakan pendekatan yang sesuai dengan masalah yang hendak diselesaikan, karena setiap masalah publik memerlukan model formulasi kebijakan publik berlainan.
  2. Mengarah kepada permasalahan inti, karena setiap pemecahan masalah harus benar-benar mengarah kepada inti permasalahannya.
  3. Mengikuti prosedur yang diterima secara bersama, baik dalam rangka keabsahan maupun juga dalam rangka kesamaan dan keterpaduan langkah perumusan;
  4. Mendayagunakan sumber daya ada secara optimal, baik dalam bentuk sumber daya waktu, dana, manusia, dan kondisi lingkungan strategis.
11 model evaluasi formulasi kebijakan publik
  1. model kelembagaan
  2. model proses
  3. model kelompok
  4. model elit
  5. model  rasional
  6. model inkremental
  7. model teori permainan
  8. model pilihan publik, dan
  9. model sistem
  10. model demokratis
  11. model perumusan strategis
Evaluasi Implementasi Kebijakan Publik
Mengikuti Prof. Sofyan Effendi, tujuan dari evaluasi implementasi kebijakan publik adalah untuk mengetahui variasi dalam indikator-indikator kinerja yang digunakan untuk menjawab tiga pertanyaan pokok, yaitu :
  1. Bagaimana kinerja implementasi kebijakan publik? Jawabannya berkenaan dengan kinerja implementasi publik (variasi dari outcome) terhadap variabel independen tertentu.
  2. Faktor-faktor apa saja menyebabkan variasi itu? jawabannya berkenaan faktor kebijakan itu sendiri, organisasi implementasi kebijakan, dan lingkungan implementasi kebijakan yang mempengaruhi variasi outcome dari implementasi kebijakan.
  3. OutPut/ keluarannya sepertia apa? Jawabannya sangat tergantung
Evaluasi implementasi kebijakan dibagi tiga menurut timing evaluasi :
  1. Evaluasi sebelum pelaksanaan yang disebut  William Dunn (1999) sebagai evaluasi summatif.
  2. Evaluasi pada waktu pelaksanaan biasanya disebut evaluasi proses.
  3. Evaluasi setelah kebijakan yang juga disebut sebagai evaluasi konsekuensi (output) kebijakan dan/atau evaluasi impak/pengaruh (output) kebijakan.
Tiga Pendekatan dalam Evaluasi Kebijakan Publik
1.      Pendekatan Evaluasi Semu
A. Tujuan:
Menggunakan metode deskriptif Untuk menghasilkan Informasi valid Tentang hasil kebijakan
 B. Asumsi:
Ukuran manfaat atau terbukti dengan sendirinya atau tidak kontroversial
C.  Bentuk-Bentuk Utama:
 Eksperimentasi sosial Akuntansi sistem Sosial Pemeriksaan sosial Sintesis riset dan praktek
D. Teknik:
Sajian grafik Tampilan tabel Angka indeks Analisis seri waktu terinterupsi Analisis seri terkontrol Analisis diskontinyu regresi
2.      Pendekatan Evaluasi Formal
A. Tujuan:
Menggunakan metode deskriptif untuk menghasilkan informasi yang terpercaya dan valid mengenai hasil kebijakan secara formal diumumkan sebagai tujuan program kebijakan.
B. Asumsi:
Tujuan dan Sasaran dari pengambilan dan administrator yang secara resmi diumumkan merupakan ukuran yang tepat dan manfaat atau nilai.
C. Bentuk-bentuk Utama:
Evaluasi perkembangan Evaluasi Eksperimental Evaluasi proses Retrospektif (expost) evaluasi hasil retrospektif.
D. Teknik:
Pemetaan sasaran klarifikasi nilai kritik nilai pemetaan hambatan Analisis dampak saling Disecounting
3.      Pendekatan Evaluasi Keputusan Teoritis
A.    Tujuan:
Menggunakan metode deskriptif untuk menghasilkan informasi yang terpercaya dan valid mengenai hasil kebijakan yang secara eksplisit diinginkan oleh berbagai pelaku kebijakan.
B.     Asumsi:
Tujuan dan sasaran dari berbagai pelaku yang diumumkan secara formal ataupun diam merupakan ukuran yang tepat dari manfaat atau nilai.
C.     Bentuk-bentuk Utama:
Penilaian tentang Dapat tidaknya Dievaluasi Analisis uitilitas multi-atribut.
D.    Teknik:
Brainstorming Analisis argumentasi delphi kebijakan Analisis Survei Pemakai.
James P. Lester dan Joseph Steward Jr. (2000), mengelompokkan evaluasi implementasi kebijakan:
  1. evaluasi yang berkenaan dengan proses implementasi,
  2. evaluasi impak atau evaluasi berkenaan dengan hasil dan/atau pengaruh dari implementasi kebijakan,
  3. evaluasi kerjakan yaitu apakah benar hasil yang dicapai mencerminkan tujuan yang dikehendaki, dan
  4. evaluasi metaevaluasi yang berkenaan dengan untuk menemukan kesamaan-kesamaan tertentu.
Ernest R. House (1980) membuat taksonomi evaluasi yang cukup berbeda, yang membagi model evaluasi menjadi :
  1. model sistem, dengan indikator utama adalah efisiensi.
  2. model perilaku, dengan indikator utama adalah reduktivitas dan akuntabilitas.
  3. model formulasi keputusan, dengan indikator utama adalah keefektifan dan keterjagaan kualitas.
  4. model tujuan bebas (goal free), dengan indikator utama adalah pilihan pengguna dan manfaat sosial.
  5. model kekritisan seni (art criticism), dengan indikator utama adalah standar yang semakin baik dan kesadaran yang semakin meningkat.
  6. model review profesional, dengan indikator utama adalah penerimaan profesional.
  7. model kuasi-legal (quasi-legal), dengan indikator utama adalah resolusi, dan
  8. model studi kasus, dengan indikator utama adalah pemahaman atas diversitas.
Ada pula pemilahan evaluasi sesuai dengan teknik evaluasi kebijakan berdasarkan rentang sejarah munculnya kebijakan-kebijakan
  1. evaluasi komparatif, yaitu membandingkan implementasi kebijakan (proses dari hasilnya) dengan implementasi kebijakan yang sama atau berlainan, di satu tempat yang sama atau berlainan.
  2. evaluasi historilal, yaitu membuat evaluasi kebijakan berdasarkan rentang sejarah munculnya kebijakan-kebijakan tersebut.
  3. evaluasi laboratorium atau eksperimental, yaitu evaluasi namun menggunakan eksperimen yang diletakkan dalam sejenis laboratorium.
  4. evaluasi ad hock, yaitu evaluasi yang dilakukan secara mendadak dalam waktu segera dengan tujuan untuk mendapatkan gambar pada saat itu (snap shot).
James Andeson membagi evaluasi (implementasi) kebijakan publik menjadi tiga Tipe
  1. Pertama, evaluasi kebijakan publik yang dipahami sebagai kegiatan fungsional.
  2. Kedua, evaluasi yang memfokuskan kepada bekerjanya kebijakan.
  3. Ketiga, evaluasi kebijakan sistematis yang melihat secara obyektif program-program kebijakan yang ditujukan untuk mengukur dampaknya bagi masyarakat dan sejauh mana tujuan-tujuan yang ada telah dinyatakan telah dicapai (dikutip Winarno, 2002, 168).
Edward A. Suchman (dikutip Winarno, 2002, 169) di sisi lain lebih masuk ke sisi praktis dengan mengemukakan enam langkah dalam evaluasi kebijakan, yaitu :
  1. mengidetifikasi tujuan program yang akan dievaluasi,
  2. analisis terhadap masalah,
  3. deskripsi dan standardisasi kegiatan,
  4. pengukuran terhadap tingkatan perubahan yang terjadi,
  5. menentukan apakah perubahan yang diamati merupakan akibat dari kegiatan tersebut atau karena penyebab yang lain,
  6. beberapa indikator untuk menentuan keberadaan suatu dampak.
Dari berbagai-bagai ragam dan teknik evaluasi implementasi tersebut, pertanyaannya adalah mana yang hendak digunakan? Jawabannya juga tidak berbeda,  tergantung kebutuhan evaluator. Keseluruhan model tersebut di atas mencerminkan ragam dari kebutuhan evaluator, baik yang digerakkan dari perbedaan kepentingan, perbedaan latar belakang, perbedaan tujuan, perbedaan keberadaan (pemerintah atau target), perbedaan waktu, dan lain-lain.
evaluasi kebijakan yang baik harus mempunyai beberapa syarat pokok:
  1. tujuannya menemukan hal-hal yang strategis untuk meningkatkan kinerja kebijakan.
  2. yang bersangkutan harus mampu mengambil jarak dari pembuat kebijakan, pelaksana kebijakan, dan target kebijakan.
  3. Prosedur evaluasi harus dapat dipertanggungjawabkan secara metodologi.
Petunjuk praktis evaluasi implementasi kebijakan publik
                                                                                                                                         
Keterangan Gambar
  1. evaluator harus menyesuaikan alat ukurnya dengan model atau metode implementasi kebijakan. Pada dasarnya, setiap metode implementasi kebijakan di dalam dirinya telah menyediakan alat ukur bagi keberhasilan/kinerja implementasi kebijakan.
  2. evaluator harus menyesuaikan evaluasinya dengan tujuan dari evaluator yang dibebankan kepadanya.
  3. Evaluator harus menyesuaikan diri evaluasinya dengan kompetensi keilmuan dan metodologis yang dimilikinya.
  4. Seorang evaluator dengan kompetensi ekonomi diharapkan tidak melakukan evaluasi politik.
  5. evaluator harus  menyesuaikan diri dengan sumber daya yang dimiliki, mulai sumber daya waktu, manusia, alat atau teknologi, dana, sistem, manajemen, bahkan sumber daya kepemimpinan yang ada.
  6. evaluator harus menyesuaikan diri dengan lingkungan evaluasi, agar ia bisa diterima dengan baik di lingkungan yang akan dievaluasinya.
Evaluasi Lingkungan Kebijakan Publik
Jenis evaluasi ini mendapat sedikit sekali perhatian, baik dari praktisi maupun akademisi evaluasi kebijakan publik. Kenyataan ini harus diakui karena sesungguhnya, sekuat apa pun pengaruh lingkungan, ia merupakan faktor yang berada di luar kendali dari kebijakan publik. Karena itu, acapkali lingkungan “dikeluarkan” dari  evaluasi kebijakan publik.
Namun Demikian Perkembangan terkini membuktikan bahwa keberhasilan dan kegagalan kebijakan tidak lagi ditentukan oleh keandalan kebijakan dan implementasinya, namun dukungan lingkungan. Konteks “lingkungan” dikedepankan karena perubahan yang terjadi hari ini dan dimasa depan adalah perubahan dalam volume yang besar dan cepat. Kenyataan ini begitu mencemaskan karena tidak banyak melihat sebuah kebijakan ketika selesai dibuat, mendadak sudah menjadi usang karena perubahan.
 
Bacaan Terkait :
Applied Science ( Evaluasi Kebijakan Publik ) 
Studi Implementasi Kebijakan Publik
Public Policy 
Kebijakan Publik Menurut Para Ahli